Kamis, 18 Agustus 2011

Janji

Janji



Mereka berdua sudah lama duduk bersisisan di sebuah bangku, saling diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Orang-orang lalu lalang di belakang mereka. Salah satunya berbicara dengan suara tertahan.
“Aku tak peduli kau hendak datang atau tidak. Kau tak seharusnya ada di sini. Pergilah! Kau hanya membuat semua hal ini menjadi lebih buruk.”

-

Seminggu lalu.
Dua orang duduk berhadapan disebuah tempat nongkrong anak muda jaman sekarang. Secangkir kopi dan segelas lemon tea yang separuh habis ada di hadapan mereka, masing-masing terpekur menatap gelas mereka. Lalu si pemilik cangkit kopi itupun angkat bicara.
“Why you always help him?”
“Aku hanya ingin membantu kalian berdua. Kalian tak pernah bisa mengungkapkan perasaan kalian yang sebenarnya kepada satu sama lain.”
“Perasaan yang mana, Rahita?” Ia kesal, ucapan temannya yang barusan terasa seperti fitnah.
“Ya tentu saja perasaan kalian berdua.”
Lawan bicaranya mendengus, terlalu apatis untuk mengakui. “Aku tak percaya ucapanmu itu. Dan aku tak akan pernah percaya jika ia tak mengatakannya langsung kepadaku.”
“Ayolah, kau tak bisa terus seperti ini, Tara!”
Si pemilik nama itu terdiam sambil bersedekap, menahan amarah.
“Dia tak bermaksud seperti itu kepadamu. Dia berkata sendiri kepadaku. Dia menyesalinya, Tara.”
Temannya itu masih diam.
“Apakah saat kau hendak pulang, ia datang?”
“Tidak.” Jawabnya sekenanya.
“Ah, seharusnya aku memaksanya lebih keras lagi.” gerutunya, ia lalu meminum lemon teanya. Berbicara dengan orang yang kerasa kepala seperti temannya itu membuatnya haus. Temannya itu kaget.
“Kau menyuruhnya datang?” temannya terpancing.
“Ya. Apa dia benar-benar tidak datang?” tanyanya meyakinkan.
“Tidak. Untuk apa ia datang.”
“Untuk membayar kesalahannya sebulan lalu.”
“Ah, sudahlah. Hentikan obrolan ini. Aku sudah lelah. Aku mau pulang.” Ia bangkit dari kursinya.
“Tara, tunggu! Dengarkan aku lagi!”
“Sudahlah, Rahita. Jangan rusak liburanmu ini hanya untuk memintakan maaf untuknya.” Ujarnya dengan wajah yang terlihat letih. Ya, dia memang sudah lelah.

-o-

“Give me a chance to show you my efforts.” Akhirnya ia berbicara juga.
“Your efforts? You never try to get something!” nada bicaranya meninggi.
“I do. Tapi kau yang tak mau menatapku. Apa yang harus aku lakukan agar kau percaya kepadaku lagi?”
“Nothing. Kau sudah merusaknya, ‘janjimu’ itu.”

-

Setahun lalu.
Ia buru-buru memarkir sepeda gunungnya, di tempat penitipan seperda di luar gerbang, lalu berlari menuju tempat yang ia harus datangi. Tak sampai 5 menit ia sampai dan mendapati bangku taman itu kosong. Sedikit kecewa, tapi ia ingin menata hatinya dulu. Ia duduk sambil mengatur napasnya, tapi ia malah menangkap sosok yang ia tunggu di bawah pohon, 10 meter dari tempatnya duduk. Orang itu bangkit dari duduk lalu menghampirinya. Ia tersenyum kaku.
“Sudah lama?”
“Tidak juga.” Jawab orang itu sambil duduk di sisi yang kosong.
Hening sejenak.
“Jadi, kau akan mengambil beasiswa itu?” tanyanya memecah keheningan.
Sosok di sampingnya terdiam. “Yah begitulah. Aku tak punya pilihan lain, kan?”
Pertanyaan itu tak perlu dijawab, dan malah meninggalkan keheningan.
“Kapan kau berangkat?”
“Seminggu lagi.”
“Oh, begitu ya.” Dia terlihat sedih, tapi ia sekuat tenaga menyembunyikan itu. Dan berhasil.
“Tara, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
“Aku tahu.” Potongnya dengan cepat, ia takut kata-katanya itu akan melukai sosok di sampingnya. Tapi ia harus melakukannya, sebelum semuanya terlambat.
“Aku tahu apa yang ingin kau katakana kepadaku.”
Sosok di sampingnya itu terdiam, kaget. “How you . . .”
“Aku tahu sejak awal, sejak lama.”
Sosok di sampingnya itu memalingkan mukanya. Ia menyesali karena telah memulai topik itu. Ia tahu keadaan akan berubah, tapi ia tak menyangka kalau akan jadi seperti ini.
“Aku tahu,” ia melanjutkan, “ tentang apa yang kau rasakan kepadaku selama ini.”

-o-

“Janji yang mana, Tara? Aku selalu berusaha menepatinya.” Ujarnya frustasi. Ia tak bisa marah kepada sosok di sampingnya itu.
“Dengan menghindariku?” kata-katanya itu meninggi, untuk yang kesekian kalinya.

-

Sebulan lalu.
Ia duduk sendirian menunggu keretanya yang akan datang setengah jam lagi, iya jika Pramex itu tepat waktu. Tapi biasanya lebih sering telat. Pikirannya kosong hingga tak sadar seseorang duduk di sampingnya. Ia menoleh merasakan getaran dari orang yang menambah beban di bangku yang ia duduki. Seseorang itu tersenyum. Ia melengos, menyembunyikan senyumnya.
“Kau di sini, Arvin?” tanyanya tanpa menatap sosok yang baru datang itu.
“Ya, begitulah.” Ia tersenyum gugup.
“Mengapa kau di sini?” nada bicaranya berubah sinis.
“Tentu saja mengantarmu.”
“Untuk apa?”
“Ayolah, aku tahu kau marah kepadaku. Aku tahu aku bersalah karena tak mengajakmu berkeliling. Ayolah Tara!”
Ia diam, ia tak ingin semudah itu luluh.
“Oke, aku minta maaf kalau begitu.”
“Toh kalaupun aku tak memaafkanmu, semua hal itu sudah lewat, bukan?”
“Jadi, apakah aku bisa menganggap kalau kau memaafkanku?”
“Terserah kau saja.” Ia tersenyum. Ah, mungkin memang ia terlalu baik.

-o-

“Sudah aku katakan berapa kali kepadamu bahwa aku sedang ada urusan waktu itu, Tara! Dan aku tak bisa meninggalkannya! Kalau aku meninggalkannya, beasiswaku terancam dicabut.”
Hening.
“Padahal kupikir kita berdua bisa ngobrol tentang banyak hal saat kita berkeliling. Sudah lama kita tak ngobrol.” Kalimat itu begitu lirih, dan hanya keduanya yang bisa mendengarnya.
“Lagi-lagi kau membuatku melambung dengan kata-katamu itu. Kau sungguh kejam kepadaku Tara.”
Yang diajak bicara kini diam. Ekspresi wajahnya tak bisa terbaca.
“Aku ingin sekali lagi bertanya kepadamu tentang perasaanmu kepadaku. Kau menganggapku apa?”
Lama jawaban itu terucap.
“Masih sama seperti terakhir kali kita bicara berdua.”

-

Enam bulan lalu.
“Aku tak tahu kalau kau sekarang mau menerima teleponku seprti ini.”
“Hentikan menggodaku, Arvin! Cepat kau mau tanya apa!”
“Apa maksud smsmu semalam?”
“Sudah jelas,kan? kenapa kau malah tanya lagi?” nada suara itu meninggi di seberang telepon.
Ia terkekeh. “Aku tak paham kalau kau tak mengatakannya.”
“Aku tak bisa mengatakannya, bodoh!”
Ia terkekeh lagi. “Ayolah, aku benar-benar tak paham!”
“Ah, sudahlah! Kututup saja telepon ini!”
“Oke, oke! Aku yang mengalah. Jadi, aku akan bertanya kepadamu, lantas kau jawab ya atau tidak.”
“Baiklah.”
“Jadi, ehem, jadi apa benar perasaanmu sama denganku?”
Hening sejenak.
“Oi, jawab dong!”
“Sudah tahu masih tetap bertanya!”
“Jadi, aku bisa menganggab jawabanmu sebagai ‘ya’ ?”
“Hm.”
Ia bersorak dalam hati, wajahnya memanas.
“Jadi kita berdua . . . “
Ia hendak meneruskan kalimatnya itu, tapi sosok di seberang telepon itu memotongnya dengan cepat.
“Arvin, kau harus menemukan orang lain.”
Ia terdiam, hatinya mencelos.
“Kenapa?”
“Aku sudah pernah mengatakannya kepadamu kalau kita adalah teman. Dan aku tak bisa mengubah hal ini.”
Sesaat hening.
“Oke aku mengerti.” Ujarnya lemas.
“Jadi . . . , kita masih teman?”
“Yeah, kita teman.”

-o-

“Jawabanmu itu membuatku semakin sakit, Tara. Berapa lama lagi aku harus menunggumu? Bagaimana caranya lagi aku harus meyakinkanmu lagi bahwa perasaan ini masih di tempatnya dulu?”

-

Sehari lalu.
Dua orang itu memang tak lama bertemu hingga obrolan mereka begitu panjang untuk disimak.
“Kenapa diam? Kau memikirkan Arvin?”
Yang ditanya malah melengos. Memilih menatap pemandangan di luar jendela kamar sahabatnya itu.
“Oke aku bercanda. Gitu aja marah!”
Ia masih diam, tapi alisnya berkerut, seperti hendak berkumpul di tengah. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tak penah ia ucapkan. Tak mau obrolan itu menjadi sebuah perdebatan.
“Besok dia balik.” Ujar temannya itu sambil mengambil gitar dan duduk di tepi tempat tidur.
“Aku tahu.”
Gitar itu berada di tangan orang yang tepat. Keheningan setelah jawaban itu membuatnya memainkan sebuah into lagu milik secondhand serenade, Your call. Permainan itu terhenti.
“Kau tak mau menemuinya? Kemarin juga saat kita bertemu dengannya kau tak banyak bicara dengannya. Tak seperti kau biasanya.”
Lawan bicaranya itu tak menyahut.
“Kau tak menyesal? Beberapa bulan lagi ia baru akan kembali ke sini, lho.”
“Aku tak peduli.”
Pemilik gitar itu tahu jawaban itu yang akan muncul. Tapi ia tahu, sebenarnya temannya itu peduli, terlalu peduli hingga tak mau mengatakannya. Ia tertawa keras.
“Aku tahu! You do miss him so much, don’t you?”
“Apa sih, Jay?! Aku tak seperti itu.”
“Tara, Tara! Jangan terlalu keras kepada diri sendiri. Kau hanya tak mau membuka hatimu untuk siapa pun, kan?”

-o-

“Kau tak perlu lagi melakukannya, Arvin. Aku ingin meluruskan semuanya, sekarang. Permainan ini tak akan pernah berakhir kalau tak ada yang mau menghentikan semua ini.”
Hening.
Pemilik nama yang disebut itu paham. Untuk yang kesekian kalinya, orang yang menawan perasaannya itu menghempaskannya, lagi.
“Aku tahu. Aku cukup tahu apa yang ingin kau katakan.”
“Ya, aku akan mengatakannya kepadamu. Kau telah memulai semua ini sebagai teman, dan sekarang biarkan aku yang mengakhirinya sebagai teman.”
“Baiklah, kita adalah teman.”
“Teman?” tanya sosok itu sambil menyodorkan kelingking kanannya sambil tersenyum.
Ia menatap mata lawannya itu, ada binar kesedihan, tapi semua itu tertutup oleh tekad yang terpancar dari kedua matanya. Ya, kali itu, ia tak punya kesempatan lagi.
Ia tersenyum.
“Teman.” Ia mengkaitkan kelingking tangannya kepada kelingking di hadapannya. Kali ini, ia benar-benar tak punya kesempatan. [ ]

END